Jumat, 01 Mei 2009

Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong











HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keadaan Umum PPN Brondong

Pelabuhan Perikanan sebagaimana tersirat dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 adalah tempat yang terdiri dari atas daratan dan perairan disekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintah perikanan bersandar, berlabuh dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan.

Sesuai bobot kerja, produktivitas, kapasitas sarana pokok, fungsional dan penunjang serta pengembangnnya, berdasarkan Kepmen Kelautan dan Perikanan No : KEP.10/MEN/2004 tentang Pelabuhan Perikanan, pelabuhan diklasifikasikan menjadi 4 kelas, dengan kriteria sebagai berikut:

1. Pelabuhan Perikanan Samudra (tipe A)

- Diperuntukkan bagi kapal-kapal perikanan >50 GT dan kapal pengangkutan ikan 500-1000 GT.

- Melayani kapal-kapal perikanan 100 unit per hari.

- Tersedianya fasilitas pembinaan mutu, sarana pemasaran dan lahan kawasan industri perikanan.

2. Pelabuhan Perikanan Nusantara (tipe B)

- Diperuntukkan bagi kapal-kapal perikanan 30-50 GT.

- Melayani kapal-kapal perikanan 50 unit per hari.

- Tersedianya fasilitas pembinaan mutu, sarana pemasaran dan lahan kawasan industri.

3. Pelabuhan Perikanan Pantai (tipe C)

- Diperuntukkan bagi kapal-kapal perikanan 10 GT.

- Melayani kapal-kapal perikanan sekurang-kurangnya 30 kapal perikanan.

- Tersedianya fasilitas pembinaan mutu, sarana pemasaran dan lahan kawasan industri perikanan.

4. Pangkalan Pendaratan Ikan (tipe D)

- Diperuntukkan bagi kapal-kapal perikanan <>

- Melayani kapal-kapal perikanan sekurang-kurangnya 30 kapal perikanan.

- Dekat dengan pemukiman nelayan.

Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Brondong memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan berukuran 20-30 Gross Tonnage (GT), panjang dermaga 150m dengan kedalaman minus 3m. Pelabuhan perikanan Brondong mampu menampung kapal sampai 75 unit kapal perikanan per hari dan jumlah ikan yang didaratkan rata-rata 10 ton perhari.

Selain industri pabrik es, didalam kawasan Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong juga terdapat industri perikanan yang meliputi industri pengolahan ikan segar, ikan asin, ikan pindang, ikan panggang dan fillet ikan.

Berdasarkan kenyataan yang ada dan sesuai Kepmen Kelautan dan Perikanan No : KEP.10/MEN/2004 tentang Pelabuhan Perikanan maka Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong termasuk dalam kategori Pelabuhan Perikanan tipe B yang diharapkan mampu untuk menjadi pusat pertumbuhan dan pengembangan ekonomi perikanan yang berbasis Perikanan Tangkap yang pada gilirannya diharapkan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan perkembangan ekonomi secara keseluruhan.

Murdiyanto (2003) mendefinisikan pelabuhan perikanan sebagai tempat pelayanan umum bagi masyarakat nelayan dan usaha perikanan, sebagai pusat pembinaan dan peningkatan kegiatan ekonomi perikanan yang dilengkapi dengan fasilitas didarat dan di perairan sekitarnya untuk digunakan sebagai pangkalan operasional tempat berlabuh, bertambat, mendaratkan hasil, penanganan, pengolahan, distribusi dan pemasaran hasil perikanan.

4.1.1 Sejarah Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Brondong

Sejarah berdirinya PPN Brondong mulai dibangun pada tahun 1980/1981 dengan mengembangkan PPI yang sudah ada sebelumnya. Ijin pengembangannya diperoleh dari Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Departemen Perhubungan melalui surat Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Laut No. B. IX-22 CY/PP 72 tanggal 3 November 1986. berdasarkan SK Menteri No. 428/Kpts/410/1987, PPN Brondong secara resmi ditetapkan menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat (Type B), Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Perikanan Bidang Prasarana dan Sarana Perikanan khususnya bidang Pelabuhan. Dengan adanya SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep 26 I/MEN/2001. maka Pelabuhan Perikanan diganti menjadi UPT Departemen Kelautan dan Perikanan dibidang Prasarana Pelabuhan Perikanan yang berada dibawah dan bertangung jawab kepada Direktur Jenderal Perikanan Tangkap.

4.1.2 Visi dan Misi Pelabuhan Perikanan Nusantara brondong

Visi Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong adalah “Terwujudnya Pelabuhan perikanan Nusantara Brondong sebagai Pusat Pertumbuhan dan Pengembangan Ekonomi Perikanan terpadu yang berwawasan pengelolaan Sumberdaya Ikan yang berkelanjutan sebagai wahana untuk mensejahterakan masyarakat”.

Misi Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong sebagai berikut:

1. Meningkatkan produksi dan produktifitas usaha penangkapan dalam rangka peningkatan konsumsi ikan, peyediaan bahan baku industri dan penerimaan devisa Negara.

2. Meningkatkan kualitas dan harga ikan yang didaratkan dan didistribusikan ke daerah pemasaran.

3. Meciptakan iklim yang kondusif bagi investasi usaha di lingkungan Pelabuhan.

4. Meningkatkan Koordinasi pelayanan dan pelaksanaan tugas berbagai instansi dan lembaga yang terkait dalam usaha perikanan tangkap.

5. Meningkatkan pengendalian, pemantauan dan pengawasan penangkapan sumber daya kelautan dan perikanan.

6. Meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan kesempatan kerja.

7. Meingkatkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

4.2 Tugas dan Fungsi Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong

Pelabuhan Perikanan mempunyai tugas yaitu melaksanakan fasilitasi produksi dan pemasaran hasil perikanan tangkap di wilayahnya dan pengawasan penangkapan untuk pelestariannya.

Dalam melaksanakan tugas, Pelabuhan Perikanan mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut :

1. Perencanaan, pengembangan, pemeliharaan serta pemanfaatan sarana Pelabuhan Perikanan.

2. Pelayanan teknis kapal perikanan dan kesyahbandaran Pelabuhan Perikanan.

3. Koordinasi pelaksanaan urusan keamanan, ketertiban dan pelaksanaan kebersihan kawasan Pelabuhan Perikanan.

4. Pengembangan dan fasilitas pemberdayaan masyarakat perikanan.

5. Pelaksanaan fasilitasi dan koordinasi di wilayahnya untuk peningkatan produksi, distribusi dan pemasaran hasil perikanan.

6. Pelaksanaan dan pengawasan penangkapan, pengolahan, pemasaran dan mutu hasil perikanan.

7. Pelaksanaan pengumpulan, pengolahan dan penyajian data dan statistik perikanan.

8. Pengembangan dan pengelolaan sistem informasi dan publikasi riset, produksi serta pemasaran hasil perikanan tangkap di wilayahnya.

9. Pemantauan wilayah pesisir dan fasilitas wisata bahari.

10. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.

Berdasarkan tugas dan fungsi tersebut maka tujuan dan sasaran yang hendak dicapai adalah dengan pelayanan yang diberikan, diharapkan mampu meningkatkan produktifitas kapal dan pendapatan nelayan



Kegiatan Operasional PPN Brondong

Tingkat operasional Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong dalam kegiatan ekonomi disekitarnya telah memberikan manfaat yang cukup tinggi, seperti memberikan pelayanan serta fasilitas produksi beserta pemasaran hasil perikanan tangkap di wilayahnya dan pengawasan pemanfaatan sumberdaya penangkapan untuk kelestariannya.

A. Produksi dan Nilai Produksi Ikan

Pada tahun 2007 produksi ikan dibanding tahun 2006 mengalami peningkatan sebesar 30,49% harga perjenis ikanpun juga mengalami kenaikan sebesar 5,32% bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini dipicu sebagai akibat dari semakin naiknya kebutuhan hidup dan kebutuhan pokok sehingga nelayan sering melaut, serta didukung oleh pengaruh cuaca yang cukup baik pada tahun 2007 dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Produksi ikan Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong tahun 2007 sebesar 60.769.059 Kg dengan nilai Rp. 421.183.449.175,-. Ikan yang didaratkan bermacam-macam mulai dari jenis ikan demersal hingga pelagis, namun ikan yang dominan didaratkan adalah ikan demersal antara lain ikan kuningan, kapasan, manyung serta pari yang merupakan ikan jenis demersal.

B. Produksi dan Distribusi Ikan Hasil Tangkapan

Distribusi ikan olahan merupakan mata rantai terpenting dalam pengoptimalan hasil perikanan tangkap, karena dengan demikian hasil perikanan tidak terbuang dengan percuma (losses) namun dapat dinikmati pula oleh masyarakat yang jauh dari laut. Hal terpenting dari penditribusian adalah mutu daripada produk yang akan disalurkan kepada konsumen, sehingga pengusaha perlu memperhatikan jaminan mutu produk agar tidak membahayakan konsumen.

Pemasaran hasil perikanan tangkap di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong meliputi distribusi ikan dalam bentuk segar serta sudah berupa produk olahan. Produksi ikan hasil tangkapan yang didaratkan sekitar 60.769 ton (51,4%) berupa ikan segar, selebihnya adalah ikan asin yang sudah digarami diatas kapal. Sedangkan dalam proses selanjutnya diolah menjadi ikan pindang, ikan asin kering dan beberapa produk ikan olahan lainnya. Produk olahan yang dipasarkan keluar wilayah Lamongan antara lain ikan asin, pindang serta petis.

Bebagai bentuk olahan dan ikan segar yang didistribusikan untuk memenuhi permintaan pasar lokal maupun daerah lainnya. Untuk ikan segar dipasarkan ke daerah Jawa Timur dan Jakarta sebagai bahan baku pabrik pengolahan dan ikan pindang dipasarkan ke daerah Jawa Barat, sedangkan untuk ikan panggang sebagai konsumsi lokal.

C. Jumlah Nelayan

Sesuai dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 nelayan adalah orang yang pekerjaannya menangkap ikan. Tentu saja dalam hal ini tempat tinggal nelayan tidak jauh dari daerah penangkapan ikan (laut), seperti halnya di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong nelayan yang ada berasal dari desa-desa sekitar pelabuhan seperti Desa Brondong, Desa Blimbing, dan sekitarnya. Jumlah nelayan di pelabuhan perikanan nusantara Brondong yang dihitung berdasarkan jumlah alat tangkap yang digunakan.

D. Jumlah Alat Tangkap

Semakin pesatnya perkembangan teknologi penangkapan ikan berkenaan dengan alat tangkap, mendorong nelayan untuk menggunakan berbagai jenis alat tangkap agar hasil tangkapan dapat meningkat. Namun demikian alat penangkap ikan merupakan salah satu subyek yang cukup rumit untuk dipelajari karena banyak jenis dan variasi yang disesuaikan dengan keragaman tujuan jenis ikan yang ditangkap. Nelayan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong pada tahun 2007 hanya melakukan sedikit modifikasi pada alat tangkap yang digunakan agar lebih sempurna. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya terdapat peningkatan jumlah alat tangkap, namun dengan melihat beberapa jenis alat tangkap yang digunakan dapat disimpulkan adanya penggunaan alat tangkap yang tepat guna atau dimodifikasi untuk disesuaikan dengan daerah tangkapannya (fishing ground).

E. Frekuensi Kunjungan Kapal

Jumlah kunjungan Kapal / Perahu pada suatu pelabuhan dapat menjadi suatu indicator besarnya tingkat operasional pelabuhan tersebut. Dibanding tahun 2006 jumlah kunjungan kapal pada tahun 2007 mengalami peningkatan sebesar 15%. Pada tahun 2007 jumlah kunjungan kapal sebanyak 24.379 kapal termasuk kapal collecting yaitu kapal yang mengangkut ikan bukan berasal dari tangkapannya sendiri. Namun bila dlihat dari jumlah tersebut menunjukkan bahwa keberadaan Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong sangat diperlukan karena harga jual ikan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong relatife stabil.

F. Pelayanan Jasa

Pelayanan adalah usaha melayani kebutuhan orang lain dan pelayanan dapat dikatakan baik apabila sesuai dengan mutu pelayanan. Pelayanan jasa kepada nelayan yang bersifat komersil pada umumnya dikelola oleh instansi terkait di kawasan Pelabuhan terutama Perum. Pelayanan jasa yang dikelola oleh perum meliputi antara lain pelayanan bengkel, tambat labuh, pengadaan es, solar dan air, alat komunikasi, sewa bangunan penumpukan barang. Untuk pelayanan jasa yang dikelola oleh perum tahun 2007 mencapai Rp. 11.019.512.153,00. Pelelangan ikan tahun 2007 yang dilakukan oleh KUD Mina Tani menghasilkan Retribusi sebesar Rp. 891.521.758,00 yang diambil 3% dari hasil pelelangan. Sedangkan jasa sewa tanah pelabuhan yang digunakan untuk parker, pas masuk harian, jasa alat excavator, perbengkelan, jasa kebersihan dan beberapa jasa lainnya yang dikelola oleh Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak sebesar Rp. 43.959.300,00.

G. Penyaluran Perbekalan

Pada waktu melaut nelayan harus menyiapkan segala kebutuhan seperti es, air tawar, solar, olie, garam, serta kebutuhan bahan makan yang biasa disebut dengan perbekalan. Untuk kebutuhan es, nelayan dapat pasokan dari Perum PPS Cabang Brondong dan dari Unit Bisnis Perikanan Terpadu yang mengelola pabrik es PPN Brondong, serta unit saha kecil dikawasan pelabuhan. Sedangkan air tawar dan solar diperoleh dari Perum, kemudian garam, olie, dan bahan makan didapatkan dari unit usaha kecil. Selain itu bahan makanan juga dapat diperoleh dari KUD Mina Tani yang melayani kebutuhan nelayan yang akan melaut.


Dongeng tentang Evolusi Manusia


Persoalan yang seringkali dikemukakan oleh para pendukung teori evolusi adalah persoalan tentang asal-usul manusia. Para pengikut Darwin menyatakan pendiriannya bahwa manusia modern dewasa ini merupakan hasil evolusi dari makhluk yang menyerupai kera. Menurut mereka, selama proses evolusi ini, yang diperkirakan telah dimulai 4-5 juta tahun yang lalu, konon terdapat beberapa bentuk transisi antara manusia modern dengan nenek moyang mereka. Dalam pernyataan yang sepenuhnya bersifat khayalan ini, disebutkan tentang empat kategori dasar:
1. Australopithecus
2. Homo habilis
3. Homo erectus
4. Homo sapiens
Para ahli evolusi menyebut apa yang dinamakan sebagai nenek moyang manusia pertama yang menyerupai monyet sebagai Australopithecus yang artinya Monyet Afrika Selatan . Makhluk hidup ini sesungguhnya tidak lain adalah spesies monyet kuno yang telah punah. Riset yang mendalam yang dilakukan pada berbagai sampel Australopithecus oleh dua orang ahli anatomi ternama dunia dari Inggris dan Amerika Serikat, yakni Lord Solly Zuckerman dan Prof. Charles Oxnard, telah menunjukkan bahwa Australopithecus tersebut merupakan spesies monyet biasa yang telah punah dan terbukti tidak memiliki kemiripan dengan manusia.
Para ahli evolusi mengklasifikasikan tahap selanjutnya dari evolusi manusia sebagai homo , yakni manusia . Menurut pernyataan ahli evolusi, makhluk hidup pada sejumlah Homo lebih berkembang dibandingkan Australopithecus. Para ahli evolusi telah mengembangkan skema evolusi khayalan dengan menyusun berbagai fosil dari makhluk-makhluk ini dalam urutan tertentu. Skema ini bersifat khayalan karena tidak pernah terbukti bahwa terdapat hubungan evolusioner antara beberapa kelas ini. Ernst Mayr, salah seorang pembela teori evolusi yang terkemuka pada abad ke- 20 mengakui fakta ini dengan mengatakan bahwa mata rantai yang sampai kepada Homo sapiens sesungguhnya terputus .
Dengan membuat pembagian mata rantai seperti Australopithecus Homo habilis Homo erectus
Homo sapiens , para ahli evolusi memaksudkan bahwa masing-masing spesies ini merupakan nenek moyang bagi yang lain. Namun, penemuan terkini dari ahli paleoantrhropologi telah mengungkapkan bahwa Australopithecus, Homo habilis dan Homo erectus hidup di bagian yang berlainan di dunia pada saat yang sama.
Di samping itu, segmen manusia tertentu yang diklasifikasikan sebagai Homo erectus telah hidup hingga zaman modern. Homo sapiens neandarthalensis dan Homo sapiens sapiens (manusia modern) hidup bersama-sama di kawasan yang sama.
Situasi ini seolah-olah menunjukkan keabsahan klaim tersebut yang menyatakan bahwa mereka adalah nenek moyang bagi lainnya. Seorang ahli paleontologi dari Universitas Harvard, Stephen Jay Gould, menjelaskan kebuntuan teori evolusi meskipun ia sendiri seorang penganut evolusi:
Apa yang menjadi tangga bagi kita jika ada tiga garis silsilah hominid (A. africanus, australopithecines yang tegap, dan H. habilis), tak satu pun yang jelas-jelas berasal dari yang lain. Lagi pula, tak satu pun dari ketiganya yang menunjukkan kecenderungan berevolusi selama mereka mendiami bumi.
Pendek kata, pandangan tentang evolusi manusia, yang berusaha mencari dukungan dengan bantuan berbagai gambaran makhluk separuh manusia, separuh kera yang muncul di media dan buku pelajaran, dan dengan bantuan propaganda, terus terang saja hanyalah dongeng yang tidak memiliki landasan ilmiah.
Lord Solly Zuckerman, salah seorang ilmuwan yang terkenal dan dihormati di Inggris, yang melakukan riset tentang persoalan ini selama beberapa tahun, dan secara khusus meneliti fosil-fosil Australopithecus selama 15 tahun, pada akhirnya berkesimpulan bahwa meskipun ia sendiri seorang penganut evolusi, namun sesungguhnya tidak ada tiga cabang famili seperti itu antara makhluk yang menyerupai kera dengan manusia.
Zuckerman juga membuat sebuah spektrum ilmu pengetahuan yang menarik. Ia membentuk sebuah spektrum ilmu pengetahuan dari pernyataan yang dianggap ilmiah hingga pernyataan yang dianggap tidak ilmiah. Menurut spektrum Zuckerman, yang paling ilmiah , yakni yang tergantung pada medan data kongkret dalam ilmu pengetahuan adalah kimia dan fisika. Setelah keduanya, muncullah ilmu biologi, kemudian ilmu sosial. Pada akhir dari spektrum tersebut, sebagai bagian yang dianggap paling tidak ilmiah adalah konsep persepsi di luar panca indera seperti telepati an indera keenam, dan akhirnya evolusi manusia . Zuckerman menjelaskan alasannya:
Kemudian kami segera beralih untuk mencatat kebenaran objektif dalam bidang-bidang yang dianggap sebagai ilmu biologi, seperti persepsi di luar panca indera atau interpretasi tentang sejarah fosil manusia, di mana bagi orang-orang yang mempercayainya (penganut evolusi) apa saja mungkin dan bagi orang yang sangat mempercayainya (dalam evolusi) kadang-kadang dapat mempercayai beberapa hal yang bertentangan pada waktu yang bersamaan.
Dongeng tentang evolusi manusia semakin tidak berarti, tetapi interpretasi tentang fosil-fosil yang digali oleh orang-orang tertentu tetap dipercayai oleh orang-orang yang menganut teori ini dengan membabi buta.

Asal-usul nama Indonesia


Pada zaman purba, kepulauan tanah air kita disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu menceritakan pencarian terhadap Shinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.


Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil "Jawa" oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. "Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi (Sumatra, Sulawesi, Sunda, semuanya Jawa)" kata seorang pedagang di Pasar Seng, Mekah.



Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia. Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang itu beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah "Hindia". Semenanjung Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang". Sedangkan tanah air kita memperoleh nama "Kepulauan Hindia" (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien) atau "Hindia Timur" (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais).


Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (bahasa Latin insula berarti pulau). Tetapi rupanya nama Insulinde ini kurang populer. Bagi orang Bandung, Insulinde mungkin cuma dikenal sebagai nama toko buku yang pernah ada di Jalan Otista.

Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata "India". Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.


Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Kita tentu pernah mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada, "Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa" (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu "nusa di antara dua benua dan dua samudra", sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.

Sampai hari ini istilah nusantara tetap kita pakai untuk menyebutkan wilayah tanah air kita dari Sabang sampai Merauke. Tetapi nama resmi bangsa dan negara kita adalah Indonesia. Kini akan kita telusuri dari mana gerangan nama yang sukar bagi lidah Melayu ini muncul.


Nama Indonesia

Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.

Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel
On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: ... the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians.


Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.


Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel
The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah "Indian Archipelago" terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.


Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan:
Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di muka bumi!


Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam
Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.


Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama
Indonesische Pers-bureau.


Makna Politis

Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan! Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.


Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa
Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.


Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, "Negara Indonesia Merdeka yang akan datang
(de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut "Hindia Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya."


Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan
Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama "Indonesia". Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda.


Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; DPR zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama "Indonesia" diresmikan sebagai pengganti nama "
Nederlandsch-Indie". Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah.


Maka kehendak Allah pun berlaku. Dengan jatuhnya tanah air kita ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia Belanda" untuk selama-lamanya. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, lahirlah Republik Indonesia.